Sabtu, 29 Maret 2014

TANAH SURGA katanya



TANAH SURGA katanya
Sebuah film yang yang memuat tentang betapa tragis negeri ini dan nasionalisme terhadap negeri ini.
Film ini menceritakan bahwa di daerah perbatasan Indonesia sangat jauh dari perawatan oleh pemerintah. Tempat tinggal mereka tidak layak, pendidikan mereka sangat memprihatinkan, akses untuk ke daerah lain sangat sulit harus menggunakan sampan untuk bisa sampai di kota besar, bahkan didesa mereka belum sepenuhnya menikmati aliran listrik. Indonesia tanah surga katanya ternyata tidak sesungguhnya tanah surga. Seperti yang ada dalam puisi yang terdapat pada film tersebut.
TANAH SURGA
Bukan lautan hanya kolam susu, katanya
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu
Kail dan jala cukup menghidupimu, katanya
Tapi kata kakekku, ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara
Tiada badai tiada topan kau temui, katanya
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia
Ikan dan udang menghampiri dirimu, katanya
Tapi kata kakek, awas! Ada udang di balik batu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera
Banyak pejabat yang menjual batu dan kayu
Untuk surganya sendiri
Betapa tragis negeri ini. Namun meski anak-anak yang ada pada cerita tersebut tinggal di perbatasan, mereka tetap memiliki jiwa nasionalisme. Sebuah tantangan bagi mereka untuk tetap mempertahankan nasionalisme mereka.
Apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan cinta pada negeri ini.




Nilai yang terdapat dalam film ‘TANAH SURGA KATANYA’ adalah pemerintah Indonesia belum sepenuhnya menjalankan perannya dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Tidak ada kepedulian untuk negeri ini didaerah perbatasan. Bahkan harga diri Indonesia terinjak-injak di negeri sana. Begitu tragis kisah negeri ini. Mereka yang berada diperbatasan berjuang agar rasa cinta mereka terhadap negeri akan beradhesi kukuh dan berkobar dalam dada mereka.

Tujuan yang terdapat dalam film ‘TANAH SURGA KATANYA’ adalah agar pemerintah peduli dengan mereka yang tinggal didaerah perbatasan juga peduli terhadap masa depan dan harga diri negeri ini. Tujuan lain yang terdapat dalam film tersebut adalah meski pun mereka tinggal di perbatasan dan jauh dari kepedulian pemerintah mereka harus tetap mengadhesi kan cinta mereka kepad negeri ini. Karena bagaimanapun juga negeri ini adlah tanah air kita.

Selasa, 25 Maret 2014

Dilema

Perlukah kusebak eraman suar
Untuk membebaskan raga
Dari kebusukan
    Raga tak teguh
    Mengendap madu dalam cawan
    Setali tiga uang
    Dengan munafik pada diri
Puncak kearifan diri lantah
Berganti olokan para merpati
Yang katanya tak sama lagi
    Adakah cara lain
    Untuk menjadi lain
    Agar tiada lagi janggal
Gugusan kekesalan kadang ada
Membawa bara
Eraman suar menyua
Matikan bara

Adolesen Negeri

Rasio ini agal, mungkin
Dijejali kemutakhiran peradaan
Fatua orang tua mulai tak mempan
Malahan menjadi bumerang
    Usaha menguakkan peradaban silam
    Ternyata sia-sia
    Entah racun apa
   Yang dijejalkan untuk adolesen anak sekarang
Orang tua prihatin
Berkesah tiada pasti
Batinnya perih
Melihat fenomena penjejalan
   Patron telah terperosok
   Kobaran fatua mereka berlalu angin
   Pun menjadi bumerang
Guratan kitab hanya menjadi hiasan
Tanpa ada pengamalan
Mereka berkeluh
    Sogokan pendidikan hanya keterpaksaan
    Bukan minat pula niat
    Duduk mendengarkan, namun
    Memaki
  

Kamis, 06 Maret 2014

Sartika



Sartika termenung di beranda
Menatap pelataran barunya
Puluhan orang berkelebat
Tanpa kata halo terucap
            Dimanakah pelangimu dulu
            Ketika tiada sepi dalam keramaian
            Bertamunya sinar rembulan
            Dikegelapan malam
Adzan berkumandang
Bocah-bocah berlomba kesurau
Ia melangkah kepadasan
Menikmati suci tetes bening
Yang membelai kulitnya
            Dimanakah kirlapanmu dulu
            Begitu dekat raja dan rakyat
            Begitu dalam rakyat menghamba
            Dan betapa terpandangnya dirimu
Kerinduan mendalam Sartika
Tak pernah ada obatnya
Haruskah dia memutar waktu
Atau mencuci otaknya dengan fenomena kini
            Dalam sajak ia bercerita
            Adakah yang peduli
            Dia hidup berdampingan
            Bagai sebatang kara
Sartika merintih
Mengapa dirimu tak seperti dulu
Ragamu telah penuh kepalsuan
Dan keporandaan
            Dirimu semakin lemah
            Pujian-pujian semakin tersudut
            Bukti nihil kata
            Dua miliyar lebih menjunjung pujian
Sartika semakin miris
Apa yang bisa diperbuatnya
Air mata bersih tiada sisa
Berkesah tiada tara

Sisi Negeri



Di balik batas pencakar langit
Di arena gedung bertingkat
Mereka sedang menghamba harta dan kekuasaan
Sebagai kemuliaan sosial baru
            Menggembar-gemborkan gula suguhan
            Yang tak kunjung direalisasikan
            Semanis madu dalam ucap
            Sesedap gula dalam kecap
            Yang tersaji hanyalah tuba
Di balik batas pencakar langit
Di arena sawah hijau membentang
Mereka menjunjung etika
            Bocah berlomba ke surau
            Titik bening mengucur kepadasan
            Mengemasi baki yang diantar anaknya
            Memungut cangkul dari habitatnya
Di ufuk timur, biasnya masih enggan mengintip
Mereka kembali melangkah
Menuju padasan membelai kulit mereka
            Suara bedug bergema
            Surau penuh sesak
            Tiada tercipta sela
            Untuk mereka bercanda
Bias ufuk timur mulai merangkak naik
Mereka ternyata menanggalkan cangkul
Memungut sapu lidi dan sapu ijuk
Berjajar di tepi jalan
            Rasio mereka mengafdalkan etika
            Peradaban lampau masih tersisa
            Bukan adinterim, melainkan
            Beradhesi kukuh di sisi negeri ini
Dibalik metafor zaman yang membusuk
Peradaban adiluhung masih menyeruak
Meski di tepi hati mereka masygul
Perlahan merangkak menyambut pelangi